Menyikapi Musibah
Secara fitrah tidak seorangpun di muka bumi ini yang menginginkan musibah menimpa dirinya. Musibah merupakan hal berat yang terkadang sulit untuk kita terima. Bagi seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah, musibah yang terjadi dan menimpa dirinya, akan dipandangnya sebagai ujian hidup dan pilihan terbaik dari Allah Subhanahu wata'ala untuk dirinya.
Bagi seorang mukmin tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena kehendak Allah Subhanahu Wata'ala, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan sepatutnya menjadi bahan muhasabah atau tazkirah (peringatan) apa sebenarnya yang sedang Allah rencanakan untuk kita.
Membahas mengenai musibah, secara definisi sebenarnya adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu kafir maupun mukmin. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah : 21).
Dalam Al-Qur’an, ada dua terminologi yang menunjuk makna musibah yaitu bala’ dan adzab. Adapun adzab lebih banyak digunakan untuk menyatakan siksaan dan hukuman terhadap para pendosa dan orang-orang yang melampaui batas. Adzab hanya ditujukan kepada para pendosa atau orang kafir, sedangkan bala lebih banyak digunakan untuk menyatakan ujian dan penderitaan kepada orang mukmin maupun kepada orang yang baik-baik.
Jika musibah menimpa seorang mukmin, maka pasti itu adalah bentuk kasih-sayang Allah Subhanahu wata'ala. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah Subhanahu wata'ala akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mukmin itu adalah sebagai bentuk kasih sayang.
Jika yang menimpa orang kafir itu adzab, seperti banjir Nabi Nuh dimana yang selamat hanya orang beriman saja yang mengikuti ajaran Nabi Nuh. Begutu juga kisah kaum Nabi Luth hancur tapi hanya orang yang sholeh selamat. Kemudian kisah Nabi Shaleh dimana yang ditimpa wabah penyakit aneh yang mengerikan, kaum yang beriman kepada Nabi Shaleh walaupun rumahnya bersebelahan tidak terkena penyakit sedangkan yang kafir dimusnahkan oleh penyakit yang mengerikan. Pasukan Abrahah hancur lebur karena diadzab Allah dengan batu yang dilontarkan oleh burung Ababil tetapi di tempat di sekitarnya tidak apa-apa. Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang adzab itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka.
Perbedaan antara musibah bala dan adzab hanya terletak pada skalanya. Adzab skalanya lebih besar dan lebih luas, sedangkan bala skalanya lebih terbatas dan umumnya bersifat personal. Sebab musabab musibah terkadang sulit dijelaskan karena lebih banyak bersifat makro dan akumulatif, sedangkan bala lebih banyak bersifat mikro dan kasuistik, misalnya kecerobohan seseorang berpotensi mendatangkan bala.
Kalau musibah, itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman kita. Tapi itu tingkatnya lebih massif (tidak memilih agama, warna kulit, jenis kelamin apapun). Sedangkan bala’ itu lebih bersifat individual dan mekanikal sifatnya. Karena itu yang ditimpa bukan hanya yang beriman saja. Di situ ada yang durhaka, pendosa dan juga menimpa kepada mereka yang beriman. Kalau musibah itu unsur-unsur dimensinya lebih bersifat positif sedangkan adzab agak negatif.
Hal inilah yang menjadikan seoarang mukmin itu harus senantiasa berpikir positif dan optimis dalam mengarungi kehidupannya, sekalipun harus menghadapi berbagai ujian, atau kenyataan paling pahit dalam hidupnya. Seorang mukmin itu tidak akan mudah patah dan berputus asa, karena ia yakin bahwa setiap kejadian pastilah sudah dalam kehendak dan takdir Allah Subhanahu Wata'ala.
Bagaimana kita harus menyikapi musibah ?
Jadi .. musibah harus dimaknai : Pertama, pembersih dosa masa lampau. Kedua, pembelajaran buat kita supaya langkah-langkah kita ke depan jangan mengulangi yang salah sehingga jatuh di lubang yang sama. Ketiga, penghayatan, pendalaman, pemahaman, terhadap musibah sangat penting agar kita bisa menghadapi dengan ikhlas dan tidak berputus asa dari rahmat-NYA. Wallahu A’lam.
Membahas mengenai musibah, secara definisi sebenarnya adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu kafir maupun mukmin. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah Subhanahu wata'ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah : 21).
Dalam Al-Qur’an, ada dua terminologi yang menunjuk makna musibah yaitu bala’ dan adzab. Adapun adzab lebih banyak digunakan untuk menyatakan siksaan dan hukuman terhadap para pendosa dan orang-orang yang melampaui batas. Adzab hanya ditujukan kepada para pendosa atau orang kafir, sedangkan bala lebih banyak digunakan untuk menyatakan ujian dan penderitaan kepada orang mukmin maupun kepada orang yang baik-baik.
Jika musibah menimpa seorang mukmin, maka pasti itu adalah bentuk kasih-sayang Allah Subhanahu wata'ala. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah Subhanahu wata'ala akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mukmin itu adalah sebagai bentuk kasih sayang.
Jika yang menimpa orang kafir itu adzab, seperti banjir Nabi Nuh dimana yang selamat hanya orang beriman saja yang mengikuti ajaran Nabi Nuh. Begutu juga kisah kaum Nabi Luth hancur tapi hanya orang yang sholeh selamat. Kemudian kisah Nabi Shaleh dimana yang ditimpa wabah penyakit aneh yang mengerikan, kaum yang beriman kepada Nabi Shaleh walaupun rumahnya bersebelahan tidak terkena penyakit sedangkan yang kafir dimusnahkan oleh penyakit yang mengerikan. Pasukan Abrahah hancur lebur karena diadzab Allah dengan batu yang dilontarkan oleh burung Ababil tetapi di tempat di sekitarnya tidak apa-apa. Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang adzab itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka.
Perbedaan antara musibah bala dan adzab hanya terletak pada skalanya. Adzab skalanya lebih besar dan lebih luas, sedangkan bala skalanya lebih terbatas dan umumnya bersifat personal. Sebab musabab musibah terkadang sulit dijelaskan karena lebih banyak bersifat makro dan akumulatif, sedangkan bala lebih banyak bersifat mikro dan kasuistik, misalnya kecerobohan seseorang berpotensi mendatangkan bala.
Kalau musibah, itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman kita. Tapi itu tingkatnya lebih massif (tidak memilih agama, warna kulit, jenis kelamin apapun). Sedangkan bala’ itu lebih bersifat individual dan mekanikal sifatnya. Karena itu yang ditimpa bukan hanya yang beriman saja. Di situ ada yang durhaka, pendosa dan juga menimpa kepada mereka yang beriman. Kalau musibah itu unsur-unsur dimensinya lebih bersifat positif sedangkan adzab agak negatif.
Hal inilah yang menjadikan seoarang mukmin itu harus senantiasa berpikir positif dan optimis dalam mengarungi kehidupannya, sekalipun harus menghadapi berbagai ujian, atau kenyataan paling pahit dalam hidupnya. Seorang mukmin itu tidak akan mudah patah dan berputus asa, karena ia yakin bahwa setiap kejadian pastilah sudah dalam kehendak dan takdir Allah Subhanahu Wata'ala.
Bagaimana kita harus menyikapi musibah ?
- Segala peristiwa ini semua adalah semata-mata ujian dari sang Maha Kuasa atas seluruh alam semesta ini, dan ketika kita bisa melaluinya maka Allah Subhanahu wata'ala akan menaikkan derajat keimanan kita. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, ”Siapa yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih dahulu.” (HR Bukhari Muslim).
- Semua ujian haruslah kita hadapi dengan kesabaran, karena kesabaran adalah sebuah tanda lulusnya sebuah ujian, seperti pada sebuah hadis : ”Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman seluruh perkaranya menjadi baik. Ketika ditimpa musibah dia bersabar, itu membawa kebaikan baginya. Dan ketika mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu membawa kebaikan baginya.” (Al-Hadits).
- Seberat apapun ujian yang berupa musibah di alam raya ini, kita yakin Allah pasti sudah proprosional dalam mengujinya dan tidak akan melebihi dari kesanggupan dalam menjalaninya bagi orang yang tertimpa.”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286).
- Apapun bentuk musibah yang di derita oleh seorang muslim, baik itu berupa kesususahan, penderitaan maupun penyakit, Allah akan menghapus sebagian kesalahan dan dosa, dengan demikian derajat para korban bencana akan mulia, bagi yang meninggal dunia dia akan mati syahid dan bagi yang masih hidup tentunya dengan kesabaran atas penderitaan itu Allah akan hapus sebagian kesalahan dan dosa dosanya.
- Bagi kita yang tidak secara langsung mengalami musibah itu, hendaknya kita jadikan peristiwa itu sebagai momentum untuk menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, sehingga akan menguatkan iman kita pada sang pencipta alam semesta.
Jadi .. musibah harus dimaknai : Pertama, pembersih dosa masa lampau. Kedua, pembelajaran buat kita supaya langkah-langkah kita ke depan jangan mengulangi yang salah sehingga jatuh di lubang yang sama. Ketiga, penghayatan, pendalaman, pemahaman, terhadap musibah sangat penting agar kita bisa menghadapi dengan ikhlas dan tidak berputus asa dari rahmat-NYA. Wallahu A’lam.
0 Response to "Menyikapi Musibah"
Posting Komentar