Jihad zaman Now


Beberapa tahun terakhir, kata jihad mengalami peningkatan popularitas, terutama di lingkungan umat Islam. Peningkatan popularitas kata jihad tersebut tampaknya dilatarbelakangi semakin tingginya kesadaran untuk menerapkan jihad fi sabilillah di kalangan sebagian umat Islam.

Namun, seiring dengan popularitas tersebut, makna jihad zaman sekarang juga kerap disalahpahami. Sebagian beranggapan bahwa jihad berarti berjuang di medan perang, bahkan menggunakan kekerasan atau bom. Fenomena itu muncul dari serangkaian aksi teror yang mengatasnamakan agama.

Namun jihad pada periode Mekah tidak identik dengan peperangan. Baru kemudian ketika Nabi sampai di Madinah, kata jihad kembali dipakai dan salah satu maknanya adalah peperangan.

Peperangan yang dipakai oleh Nabi di dalam periode Madinah adalah peperangan untuk membela diri, pembelaan diri yang dilakukan oleh umat Islam karena hantaman kekerasan yang terus dikerahkan oleh orang-orang musyrik Mekah. Maka meletuslah antara lain Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq.

Jihad tidak selalu identik dengan peperangan, terlebih pada zaman sekarang di Indonesia, ketika keterbelakangan masih cukup tinggi, kemiskinan juga masih cukup tinggi, dan angka buta huruf juga masih tinggi. Maka memaknai jihad dengan pengertian perang tampaknya kurang memadai.

Jihad itu salah satu pengertiannya adalah membantu mereka yang tidak punya, membantu mereka yang memiliki keterbatasan sandang, pangan, dan papan. Itu sebabnya, jihad bukan untuk berani mati di jalan Allah. Jihad pada zaman sekarang adalah jihad untuk hidup di jalan Allah.

Syaid al-Masmawi di dalam kitabnya Al-Jihad menyatakan jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, tapi jihad hari ini justru untuk hidup di jalan Allah. Apabila hidup seseorang sudah di jalan Allah, besar kemungkinan orang tersebut akan mati di jalan Allah.

Arah pengertian jihad yang hanya pada peperangan itu penting dikembalikan kepada makna asalnya, bahwa jihad adalah keberanian untuk bersungguh-sungguh hidup di jalan Allah, bersungguh-sungguh membantu para janda dan orang-orang miskin.

Membantu para janda dan orang-orang miskin tidak perlu dilihat agamanya. Itu sebabnya, umat Islam yang mayoritas di negeri ini bisa memperlebar bantuannya, bisa dilebarkan kepada seluruh warga negara Indonesia, berjihad membantu mereka yang tidak punya adalah salah satu pengertian jihad yang relevan untuk diterapkan dalam konteks sekarang ini.


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (( السَّاعِيْ عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، - وَأَحْسِبُهُ قَالَ - وَكَالْقَائِمِ الَّذِيْ لَا يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لَا يُفْطِرُ ))

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang mengurusi para janda dan orang-orang miskin adalah seperti orang yang berjihad di jalan Allah -dan aku (perawi) mengira beliau pun bersabda- seperti orang yang shalat malam terus menerus, dan seperti orang yang berpuasa tanpa berbuka.” (HR. Bukhari 5353 dan Muslim 2982).

Janda sebenarnya hanyalah status semata, sama halnya dengan status ‘menikah’, ‘tidak menikah’, ‘duda’, ‘perjaka’, ‘perawan’ dan predikat lainnya. Dalam Islam sendiri para janda dihormati dan termasuk yang layak mendapat bantuan. Tanggung jawab nafkah dikembalikan kepada orang tua mereka setelah suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, seperti Hafshah setelah ditinggal syahid suaminya di perang Uhud maka ia kembali ke orang tuanya yaitu Umar bin Khattab. Atau Ruqayyah dan Ummi Kultsum setelah bercerai dengan suaminya maka Rasulullah yang bertanggungjawab terhadap keduanya yang akhirnya menikahkannya dengan Utsman bin Affan.

Sedangkan jika orangtuanya tidak mampu maka yang bertanggungjawab terhadap mereka adalah pemerintah (negeri Islam), baik dengan mencarikan suami bagi mereka atau memberikan santunan dari baitulmal.

Ketika Fathimah binti Qais ditalak tiga oleh suaminya, Rasulullah pun memberikan perlindungan dan menempatkannya di rumah Ibnu Ummi Maktum, untuk menghabiskan masa iddahnya. Setelah iddahnya habis, Rasulullah kemudian menikahkannya dengan Usamah bin Zaid.

Begitu pula ketika Ummu Aiman dicerai suaminya karena tidak rela dengan keislamannya, Rasulullah memberikan motivasi kepada para sahabat: “Barangsiapa yang ingin masuk jannah, nikahilah Ummu Aiman.”

Hadist tersebut memberi keterangan bahwa mereka yang belum mampu berjihad di jalan Allah, atau belum mampu untuk konsisten melaksanakan qiyamul lail di setiap malam dan shaum di siang hari, hendaknya mengamalkan hadits ini yaitu menyantuni para janda dan orang-orang miskin. Kelak pada hari kiamat, mereka yang menyantuni janda dan orang miskin, akan mendapatkan derajat seperti para pejuang.

Hadits ini dengan begitu jelas menunjukkan akan besarnya keutamaan mengurusi janda dan orang-orang miskin, dengan memenuhi kebutuhan mereka atau membantu meringankan beban mereka. Sesungguhnya para janda dan orang-orang miskin perlu mendapat perhatian di dalam sebuah masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang lemah, dan Allah menolong umat ini dikarenakan orang-orang lemah di antara kita.

Maka siapapun di antara kita bila mengetahui ada janda dan orang-orang miskin membutuhkan bantuan, hendaknya bersegera menolongya tanpa menundanya. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan dan menjadikan amal kita ikhlas karena-Nya.
Sumber :Masjid Al Maáarij Balikpapan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Jihad zaman Now"

Posting Komentar