Berandai andai dalam Islam


Dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak lepas dari musibah dan cobaan. Sikap seorang mukmin adalah menerima takdir yang telah terjadi dan bersabar menghadapinya. Sebagian orang jika tertimpa musibah mengatakan ”Seandainya aku tidak melakukan ini, maka aku tidak mengalami ini”. Atau ”Seandainya aku jadi orang kaya, pasti aku tidak mengalami kesusahan ini”. Nah, bagaimanakah Islam memandang pengandaian?

Iman kepada takdir adalah salah satu pilar Islam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Allah sebelum hal itu terjadi. Dan Allah juga telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. 

Kehendak Allah pasti terlaksana, tidak ada yang bisa mengelakkannya. Semua makhluk dan perbuatannya merupakan buah dari ciptaan-Nya. Hal ini tentu akan membuat hati seorang yang beriman merasakan ketentraman. Dia akan beramal sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Maka salah satu sifat yang harus dipunyai oleh seorang muslim ialah bersikap pasrah terhadap takdir dan tidak memprotes keputusan Allah Ta’ala. Sehingga apabila musibah menimpa maka hati mereka merasa ridha terhadap perbuatan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musibah. Inilah kewajiban kita. 

Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…” 

Rencana yang telah dibuat rupanya tidak menjadi kenyataaan. Sudah belajar mati-matian tapi kok tidak lulus ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Menjadi orang yang lemah ataukah menjadi sosok yang tabah? Nabi Muhammad SAW melarang kita merasa lemah. Karena perasaan lemah ketika tertimpa musibah akan membangkitkan celaan, protes serta kemarahan dan sedih di dalam diri. Padahal itu semua termasuk ulah syaithan. Maka Nabi Muhammad SAW melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan. Dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya.

Bentuk pengandaian yang dilarang : 
  1. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”

  2. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”

  3. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Contoh: seseorang ingin membeli sesuatu dgn harapan memperoleh untung ternyata malah rugi kemudian ia berkata: "Andaikan aku tidak membelinya tentu aku tidak akan rugi." Ini merupakan penyesalan dan kesedihan. Peristiwa seperti ini banyak terjadi dan ini dilarang.

  4. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram.

  5. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.

  6. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”

Sesungguhnya ucapan 'andaikan' itu memang tidak secara mutlak dilarang. Terkadang seseorang boleh mengucapkannya kalau ia mengharapkan suatu kebaikan. Namun, apabila sebaliknya yaitu menggarap kejelekan maka ini tidak diperbolehkan.  

Bentuk pengandaian yang diperbolehkan : 
  1. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”

  2. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”

  3. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Contoh: seseorang ingin membeli sesuatu dgn harapan memperoleh untung ternyata malah rugi kemudian ia berkata: "Andaikan aku tidak membelinya tentu aku tidak akan rugi." Ini merupakan penyesalan dan kesedihan. Peristiwa seperti ini banyak terjadi dan ini dilarang.

  4. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram.

  5. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.

  6. Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”

Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.” 

Namun, apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama.” Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.” 

Sudah seyogyanya kita terapkan ilmu ini dalam keseharian kita. Ketika kita tidak berhasil memperoleh apa yang kita inginkan. Janganlah terbuai dengan pengandaian dan angan-angan. Karena hal itu akan membuka jalan syaithan untuk berkeliaran menusuk-nusuk hati kita dengan perasaan jengkel, protes dan marah terhadap takdir Allah. Padahal kita tahu, Allah Maha adil dan bijaksana. Bisa jadi musibah ini merupakan sebab terhindarnya kita dari bencana yang lebih dahsyat darinya. Allah lebih tahu apa yang lebih bermanfaat bagi kita. Adapun kita, kita ini bodoh dan zalim. 

Maka marilah kita dalami Khazanah ilmu pengetahuan tentang Islam dan berintrospeksi diri sekali lagi, perintah apa yang kita lalaikan, larangan apa yang kita terjang, dimanakah letak kekeliruan kita, jangan-jangan selama ini dosa kita sudah menggunung tanpa kita sadari, atau kita tidak ikhlas. Atau selama ini kita berusaha semata-mata mengandalkan diri sendiri dan lalai dari memohon pertolongan Allah, sehingga Allah Subhanahu Wataála pun membiarkan kita mengurusi diri kita sendiri. 

Wallahualam Bishawab

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Berandai andai dalam Islam"

Posting Komentar