Jangan sampai puasamu sia-sia
Puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan hawa nafsu. Allah memberikan pahala dan ampunan kepada setiap orang yang melakukan kebaikan dibulan Ramadhan. Sayangnya, kebanyakan orang enggan melakukannya, sehingga yang diperoleh hanya lapar dan haus saja.
Ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar di perutnya dan dahaga yang menghinggapi tenggorokannya. Mengapa amalan puasa dihitung ? padahal dia telah susah payah menahan lapar dan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Ada 2 poin yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita, selayaknya untuk kita perhatikan dengan baik.
- Berkata Dusta (Qaula Az-Suur).
Rasulullah bersabda : من لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ Artinya : ““Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903) Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin dianggap jelek apabila dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu. - Lagwu dan Rafats.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah, Shhih At Targib wa At Tarhib no. 1082) Puasa itu juga mempuasakan semua anggota tubuh kita dari kemaksiatan.
Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak kita jumpai orang yang masih melakukan hal seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.
Puasa itu bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berikut berkata, “Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zhalim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang bagus : “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Maka janganlah jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.”
Sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : “Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”
Kemudian, apakah dengan berkata dusta dan melakukan maksiat, puasa seseorang menjadi batal?
Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah.
Puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqadha’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.”
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya : “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”
Mala ‘Ali Al–Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (6/308) berkata : “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”
Kesimpulannya : Seseorang yang masih melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, memfitnah, dan bentuk maksiat lainnya, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. Marilah jadikan bulan Ramadhan ini ajang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang dapat menggugurkan pahala puasa kita.
Sumber dari: https://wahdah.or.id/
0 Response to "Jangan sampai puasamu sia-sia"
Posting Komentar