Dunia ladang akhirat
Dinamika dan fenomena yang terjadi disekitar kita terikat oleh hukum alam. Terang-gelap, untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit dan lainnya merupakan putaran dualisme kehidupan yang dihadapi setiap insan. Sepatutnya kita menyadari bahwa kita tidak bisa bersikap status quo dalam suatu keadaan, ingin sehat terus sehingga membenci sakit, ingin untung terus sehingga menyingkirkan rugi, ingin merangkul persahabatan terus sehingga membenci permusuhan. Kedua sisi tersebut dihadapi dengan kesadaran bahwa disitu ada pengalaman yang begitu bermakna. Sementara kemapanan tidak akan memberi warna pelajaran dan hikmah dalam kehidupan ini. Bukankah kita suka dengan pelangi yang berwarni-warni, harusnya kita juga suka dengan warna-warni peristiwa dan kenyataan yang mengecat kanvas kehidupan kita.
Namun demikian, kendati warna peristiwa yang membalut kehidupan beraneka ragam, kita tetap tertuju pada warna dasar kehidupan, yakni putih. Disinilah, makna dari ikhlas, sabar, bahkan syukur yang akan menorehkan warna terang bagi kehidupan kita. Itu artinya, dasar dari seluruh anugerah Allah adalah putih. Lekatkan mata pikiran kita untuk melihat titik putih tersebut, niscaya semua sisi yang negatif akan menyingkir dari hati kita.
Bagaikan pergelaran besar, pasti ada agenda yang mewarnai pergelaran tersebut. Dari pembukaan, hingga penutupan. Dari opening hingga closing. Andaikan opening dan closing telah diagendakan, maka muatan yang mengiringi keduanya pasti telah diagendakan dengan rapi dan teratur oleh sang perencana. Contoh pergelaran teater, kita akan menyaksikan bagaimana plot cerita yang mewarnai drama teater tersebut, mungkin kita melihat plot cerita yang diwarnai decak kebahagiaan, menari-nari penuh suka cita, bahkan disertai tertawa cekikikan. Namun, ada tahapan, kesedihan, suasana kelam, kehancuran yang tak terperihkan mewarnai pemandangan dalam teater tersebut. Begitulah cermin rangakaian agenda yang mengiringi kehidupan kita.
Kelahiran tidak kita undang, dan kematian juga tidak kita pesan, artinya bahwa diantara kelahiran dan kematian ada kehidupan, harusnya menghadapi kehidupan dengan sikap tawakkal, dan menghadapi kematian dengan berserah diri. Ya, memang hanya orang yang tidak mengerti hakikat kelahiran dan kematian yang selalu didera dan dipenjara perasaan gelisah, resah, dan keluh kesah, karena menyandarkan kehidupan pada dirinya sendiri, tidak ada spirit penyerahan diri (surrender) di medan kesadarannya. Berbeda halnya, ketika orang telah memahami dan meresapi makna kelahiran dan kematian, maka ia selalu tersuluhi cahaya terang, bahwa di antara batas kelahiran dan kematian Allah telah menetapkan bagi kita masing-masing, kapan kita berada di momen kejayaan dan kapan terkapar dalam keruntuhan.
Kejayaan dan keruntuhan itu adalah suatu keadaan yang bersifat eksternal, dimana keduanya bisa menyeret kita dalam kubang penderitaan atau bisa juga menggiring kita menuju istana kebahagiaan. Apa yang membuat kita tertelungkup dalam penjara derita dan bersuka cita dalam kursi bahagia (the happiness chair) ? Tiada lain sikap kita sendiri.
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman dalam Al Qur'an surah Al-Hadid:22 : “tiada bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lawhil Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi ALLAH.”
Ayat diatas maknanya bahwa setiap kejadian dan peristiwa yang mewarnai hari-hari kita telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wataála, kita tidak bisa mengelak ketika kejadian itu sudah hendak berkunjung, dan tidak bisa mendesak kala kejadian itu belum saatnya hadir. Semua merupakan taqdir Allah Subhanahu Wataála. “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan supaya sebagian kami jadikan gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran:140)
“Bila kita berada di hari Kamis, kita tidak bisa melompat ke hari Sabtu, pun tidak bisa meloncat ke hari Ahad, padahal peristiwa dan kejadian menempel pada hari-hari itu, kalau kita tidak bisa mengelak dan menarik hari, pun tidak boleh mengelak dan menghindar dari kejadian peristiwa yang hadir, kita hanya perlu mempersiapkan dengan sabar, bukan keluhan, karena mengeluh bukan sikap orang beriman, muslim saja tidak. Orang muslim itu bersikap sabar, mukmin bersikap ridha, orang muhsin bersikap syukur. Serendah-rendah sikap orang muslim adalah sabar, dan orang yang
mengeluh ciri karakter orang kafir.
Jadi, kita perlu mempersiapkan senjata batin untuk menghadapi kejadian dan peristiwa yang hadir tanpa diundang, sehingga semua kejadian itu bisa di daur ulang menjadi kenyataan positif dalam batin, dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah Subhanahu Wataála. Kita dikunjungi musibah, maka respons dengan sikap sabar, ridha, bahkan tidak kehilangan rasa syukur. Ketika diapit kejayaan, pancarkan sikap sabar tanpa batas. Sikap tersebut terbungkus sebagai ibadah batin, ibadah batin inilah yang bisa melejitkan potensi ruhani manusia, dan mengantarkannya untuk menggapai maqom yang tak bisa dilalui dengan ibadah-ibadah lahir.
Mari kita merangkai dan memantulkan kedamaian itu pada sesama, dengan menebarkan kesadaran bahwa kehidupan ini adalah tugas untuk mengikuti skenario Allah Subhanahu Wataála. Andaikan ada orang terus tersungkur dalam penderitaan, berarti ada kezaliman yang dilakukan pada dirinya sendiri, karena Allah tidak pernah berlaku dzalim pada hambaNya. Ingat bahwa kelak kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita di dunia. Bila kehidupan kita tidak sesuai dengan aturan-NYA maka kita akan menyesal di akhirat nanti.
Demikianlah sebuah renungan yang mesti kita petik pelajarannya, kita hujamkan ke dalam jiwa, membekas dalam hati dan pikiran, seraya siap memancangkan tekad untuk membuat suatu perubahan dalam hidup kita ke depan. Wallahu alam bishawab
0 Response to "Dunia ladang akhirat"
Posting Komentar