Kepompong Ramadhan


Ramadhan punya makna tersendiri di hati umat Islam. Bulan ini adalah bulan rihlah ruhaniyah (wisata rohani). Umat Islam melepas belenggu materialisme dunia dengan menghidupkan dunia ruhiyah. Sebulan penuh umat Islam menjalani proses tadzkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Sebulan penuh umat Islam melakukan riyadhatur ruhiyah (olah rohani). Sebulan penuh umat Islam bagai ulat dalam kepompong Ramadhan. Diharapkan di akhir Ramadhan kondisi rohani kita dapat mempesona seperti kupu-kupu.

Mari kita introspeksi amal-amal apa saja yang telah kita lakukan dihari kesepuluh bulan Ramadhan ini, agar kita bisa memperoleh derajat takwa?

1. Berpuasa (Shiyam) 
Amal yang utama di bulan Ramadhan tentu saja berpuasa. Hal ini diperintahkan Allah Subhanahu Wata'ala dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183-187. Karena itu, agar puasa kita tidak sia-sia, perdalamlah wawasan kita tentang puasa yang benar dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya. Sebab, puasa bukan sekadar tidak makan dan tidak minum. Tapi, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Kata Rasulullah SAW, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka hal itu akan menjadi pelebur dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi) 

Jangan pernah tidak berpuasa sehari pun tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Meninggalkan puasa tanpa uzur adalah dosa besar dan tidak bisa ditebus meskipun orang itu berpuasa sepanjang masa. “Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshoh atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus bahkan seandainya ia berpuasa selama hidup,” begitu kata Rasulullah SAW. (HR. At-Turmudzi) 

Jauhi hal-hal yang dapat mengurangi dan menggugurkan nilai puasa. Inti puasa adalah melatih kita menahan diri dari hal-hal yang tidak benar. Bila hal-hal itu tidak bisa ditinggalkan, maka nilai puasa kita akan berkurang kadarnya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah (hakikat) puasa itu sekadar meninggalkan makan dan minum, melainkan meninggalkan perbuatan sia-sia dan kata-kata bohong.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). 

Rasulullah SAW juga berkata, “Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkanya, maka tidak ada nilainya bagi Allah apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekadar meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selama berpuasa, senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Sebab, doa orang yang berpuasa mustajab. Sabda Rasulullah saw., “Ada tiga kelompok manusia yang doanya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah doa orang-orang yang berpuasa sehingga mereka berbuka.” (HR. Ahmad dan Turmudzi) 

2. Membaca Al-Qur’an (Tilawah) 
Al-Qur’an diturunkan perama kali di bulan Ramadhan. Maka tak heran jika Rasulullah SAW. Lebih sering dan lebih banyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dibandingkan di bulan-bulan lain. Imam Az-Zuhri berkata, “Apabila datang Ramadhan, maka kegiatan utama kita selain berpuasa adalah membaca Al-Qur’an.” Bacalah dengan tajwid yang baik dan tadabburi, pahami, dan amalkan isinya. Insya Allah, kita akan menjadi insan yang berkah. 

Jika di bulan-bulan lain kita khatam membaca Al-Qur’an dalam sebulan, maka di bulan Ramadhan kita bisa memasang target dua kali khatam. Lebih baik lagi jika ditambah dengan menghafal satu juz atau surat tertentu. Ini bisa dijadikan program unggulan bersama keluarga. 

3. Memberikan makanan (Ith’amu ath-tha’am) 
Amal Ramadhan yang juga dianjurkan Rasulullah SAW. adalah memberikan santapan berbuka puasa kepada orang-orang yang berpuasa. “Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR. Turmudzi dan An-Nasa’i) Sebenarnya memberi makan untuk orang berbuka hanyalah salah satu contoh bentuk kedermawanan yang ingin ditumbuhkan kepada kita. Masih banyak bentuk sedekah yang bisa kita lakukan jika kita punya kelebihan rezeki. Peduli dan sigap menolong orang lain adalah sifat yang ingin dilatih dari orang yang berpuasa. 

4. Perhatikan kesehatan 
Berpuasa adalah ibadah mahdhah. Tapi orang yang berpuasa juga sebenarnya adalah orang yang peduli dengan kesehatan. Makanya Rasulullah SAW berkata, “Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat.” Tak heran jika selama berpuasa Rasulullah SAW. tetap memperhatikan kesehatan giginya dengan bersiwak, berobat dengan berbekam, dan memperhatikan penampilan, termasuk tidak berwajah cemberut. 

5. Jaga keharmonisan keluarga 
Puasa adalah ibadah yang khusus untuk Allah Subhanahu Wata'ala. Tapi, punya efek yang luas. Termasuk dalam mengharmoniskan hubungan keluarga. Jadi, berpuasa bukan berarti menjauh dari istri karena taqarrub kepada ALLAH sepanjang malam. Bukan juga tiada hari tanpa i’tikaf. Rasulullah SAW berpuasa, tapi juga memenuhi hak-hak keluarganya. 

Dalam prektek keseharian, hanya pada bulan Ramadhan kita bisa makan bersama secara komplit sekeluarga, baik ketika berbuka maupun sahur. Di bulan lain hal ini sulit dilakukan, keharmonisan keluarga juga bisa kita dapatkan pada saat shalat berjamaah dan tadarus bersama. 

6. Berdakwah 
Selama Ramadhan kita punya kesempatan berdakwah yang luas. Karena, siapapun di bulan itu kondisi ruhiyahnya sedang baik sehingga siap menerima nasihat. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa menunjuki kebaikan, baginya pahala sebagaimana orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun. 

Jika mampu, jadilah pembicara di kultum ba’da sholat zhuhur, ashar, dan subuh di musholla. Bisa juga menjadi penceramah di waktu tarawih. Jika tidak bisa berceramah, buat tulisan. Sebarkan ke rekan sesama jamaah yang kita temui. Jika tidak bisa, bisa mengambil artikel-artikel dari majalah, fotocopy, lalu sebarkan,   Insya Allah berkah. 

Ini sebenarnya hanyalah langkah awal bagi kerja yang lebih serius lagi. Dengan melakukan hal-hal sederhana seperti di atas, sesungguhnya kitaa sedang melatih diri untuk menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang lain. Kata Rasulullah SAW, mukmin yang baik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. 

7. Shalat Tawawih (Qiyamul Ramadhan) 
Ibadah sunnah yang khas di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih (qiyamul ramadhan). Rasulullah SAW, karena khawatir akan dianggap menjadi shalat wajib, melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat tidak sepanjang Ramadhan. Ada yang meriwayatkan hanya tiga hari. Saat itu Rasulullah saw. melakukannya secara berjamaah sebanyak 11 rakaat dengan bacaan surat-surat yang panjang. Tapi, di saat kekhawatiran akan diwajibakannya shalat tarawih sudah tidak ada lagi, Umar bi Khattab menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih adalah 21 atau 23 rakaat (HR. Abdur Razzaq dan Al Baihaqi). 

Ibnu hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i berkata, “Beberapa riwayat yang sampai kepada kita tentang jumlah rakaat shalat tarawih menyiratkan ragam shalat sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Kadang ia mampu melaksanakan shalat 11 rakaat, kadang 21, dan terkadang 23 rakaat, tergantung semangat dan antusiasmenya masing-masing. Dahulu mereka shalat 11 rakaat dengan bacaan yang panjang sehingga mereka bertelekan dengan tongkat penyangga, sedangkan mereka shalat 21 atau 23 rakaat, mereka membaca bacaan-bacaan yang pendek dengan tetap memperhatikan masalah thuma’ninah sehingga tidak membuat mereka sulit.” Jadi, silakan  qiyamul ramadhan sesuai dengan kadar kemampuan dan antusiasme kita. 

8. I’tikaf 
Inilah amaliyah ramadhan yang selalu dilakukan Rasulullah SAW. I’tikaf adalah berdiam diri di musholla dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Abu Sa’id Al-khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah i’tikaf pada awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan, dan paling sering di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Namun sayangnya, ibadah ini dianggap berat oleh kebanyakan orang Islam, jadi sedikit sekali yang mengamalkannya. Hal ini dikomentari oleh Imam Az-Zuhri, “Aneh benar keadaan orang Islam, mereka meninggalkan i’tikaf padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak beliau datang ke Madinah sampai beliau wafat.” 

9. Lailatul Qadar 
Ada bulan Ramadhan ada satu malam yang istimewa: lailatul qadar, malam yang penuh berkah. Malam itu nilainya sama dengan seribu bulan. Rasulullah SAW. amat menjaga-jaga untuk bida meraih lailatul qadar. Maka, Beliau menyuruh kita mencarinya di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Kenapa? Karena, “Barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadar berdasarkan iman dan ihtissab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Begitu kata Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bahkan, untuk mendapatkan malam penuh berkah itu, Rasulullah SAW. mengajarkan kita sebuah doa,“Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii.” Ya Allah, Engkaulah Pemilik Ampunan dan Engkaulah Maha Pemberi Ampun. Ampunilah aku. 

10. Umrah 
Jika Anda punya rezeki cukup, pergilah umrah di bulan Ramadhan. Karena, pahalanya akan berlipat-lipat. Rasulullah saw. berkata kepada Ummu Sinan, seorang wanita Anshar, agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah, karena nilainya setara denagn haji bersama Rasulullah saw. (HR. Bukhari dan Muslim) 

11. Zakat Fitrah 
Zakat fitrah wajib dibayarkan sebelum hari Ramadhan berakhir oleh umat Islam, baik lelaki-perempuan, dewasa maupun anak-anak. Tujuannya untuk mensucikan orang yang melaksanakan puasa dan untuk membantu fakir miskin. 

12. Perbanyaklah Taubat 
Selama bulan Ramadhan Allah Subhanahu Wata'ala membukakan pintu ampunan bagi hamba-hambanya dan setiap malam bulan Ramadhan Allah membebaskan banyak hambaNya dari api neraka. Karena itu, bulan Ramadhan adalah kesempatan emas bagi kita untuk bertaubat kembali ke fitrah kita. 

Mari kita tingkatkan amal ibadah kita, karena tidak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir kita.
 اللهم تقبل منا صيامنا وقيامنا وركوعنا وسجودنا وتخشعنا وتصرعنا وتلاوتنا وتصدثنا وتمم تقصيرنا برحمتك يا أرحم الراحمين 

“Ya Allah terimalah puasa kami, qiyam kami, ruku’ kami, sujud kami, kekhusyuan kami, ibadah kami, tilawah kami, sedekah kami dan sempurnakanlah segala kekurangan kami wahai Zat yang Maha Kasih dari yang mengasihi”.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah dan inayah-Nya sehingga setelah 'kepompong' Ramadhan ini , kita kembali pada ke-fithri-an laksana bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu-kupu yang teramat indah dan mempesona, Amiin.
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kenapa Allah masih menghidupkan kita hari ini


Di zaman modern seperti sekarang ini manusia saling sibuk dengan urusannya masing-masing. Kesibukan dalam urusan hidup ini tak jarang hingga melenakan, dan tak terasa menghilangkan ingatan pada Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Saat melupakan Ilahi itulah sebenarnya bencana besar telah menimpa, seperti wabah virus corona.
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dunia ladang akhirat


Dinamika dan fenomena yang terjadi disekitar kita terikat oleh hukum alam. Terang-gelap, untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit dan lainnya merupakan putaran dualisme kehidupan yang dihadapi setiap insan. Sepatutnya kita menyadari bahwa kita tidak bisa bersikap status quo dalam suatu keadaan, ingin sehat terus sehingga membenci sakit, ingin untung terus sehingga menyingkirkan rugi, ingin merangkul persahabatan terus sehingga membenci permusuhan. Kedua sisi tersebut dihadapi dengan kesadaran bahwa disitu ada pengalaman yang begitu bermakna. Sementara kemapanan tidak akan memberi warna pelajaran dan hikmah dalam kehidupan ini. Bukankah kita suka dengan pelangi yang berwarni-warni, harusnya kita juga suka dengan warna-warni peristiwa dan kenyataan yang mengecat kanvas kehidupan kita.

Namun demikian, kendati warna peristiwa yang membalut kehidupan beraneka ragam, kita tetap tertuju pada warna dasar kehidupan, yakni putih. Disinilah, makna dari ikhlas, sabar, bahkan syukur yang akan menorehkan warna terang bagi kehidupan kita. Itu artinya, dasar dari seluruh anugerah Allah adalah putih. Lekatkan mata pikiran kita untuk melihat titik putih tersebut, niscaya semua sisi yang negatif akan menyingkir dari hati kita.

Bagaikan pergelaran besar, pasti ada agenda yang mewarnai pergelaran tersebut. Dari pembukaan, hingga penutupan. Dari opening hingga closing. Andaikan opening dan closing telah diagendakan, maka muatan yang mengiringi keduanya pasti telah diagendakan dengan rapi dan teratur oleh sang perencana. Contoh pergelaran teater, kita akan menyaksikan bagaimana plot cerita yang mewarnai drama teater tersebut, mungkin kita melihat plot cerita yang diwarnai decak kebahagiaan, menari-nari penuh suka cita, bahkan disertai tertawa cekikikan. Namun, ada tahapan, kesedihan, suasana kelam, kehancuran yang tak terperihkan mewarnai pemandangan dalam teater tersebut. Begitulah cermin rangakaian agenda yang mengiringi kehidupan kita.

Kelahiran tidak kita undang, dan kematian juga tidak kita pesan, artinya bahwa diantara kelahiran dan kematian ada kehidupan, harusnya menghadapi kehidupan dengan sikap tawakkal, dan menghadapi kematian dengan berserah diri. Ya, memang hanya orang yang tidak mengerti hakikat kelahiran dan kematian yang selalu didera dan dipenjara perasaan gelisah, resah, dan keluh kesah, karena menyandarkan kehidupan pada dirinya sendiri, tidak ada spirit penyerahan diri (surrender) di medan kesadarannya. Berbeda halnya, ketika orang telah memahami dan meresapi makna kelahiran dan kematian, maka ia selalu tersuluhi cahaya terang, bahwa di antara batas kelahiran dan kematian Allah telah menetapkan bagi kita masing-masing, kapan kita berada di momen kejayaan dan kapan terkapar dalam keruntuhan.

Kejayaan dan keruntuhan itu adalah suatu keadaan yang bersifat eksternal, dimana keduanya bisa menyeret kita dalam kubang penderitaan atau bisa juga menggiring kita menuju istana kebahagiaan. Apa yang membuat kita tertelungkup dalam penjara derita dan bersuka cita dalam kursi bahagia (the happiness chair) ? Tiada lain sikap kita sendiri.

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman dalam Al Qur'an surah Al-Hadid:22 : “tiada bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lawhil Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi ALLAH.”

Ayat diatas maknanya bahwa setiap kejadian dan peristiwa yang mewarnai hari-hari kita telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wataála, kita tidak bisa mengelak ketika kejadian itu sudah hendak berkunjung, dan tidak bisa mendesak kala kejadian itu belum saatnya hadir. Semua merupakan taqdir Allah Subhanahu Wataála. “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan supaya sebagian kami jadikan gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran:140)

“Bila kita berada di hari Kamis, kita tidak bisa melompat ke hari Sabtu, pun tidak bisa meloncat ke hari Ahad, padahal peristiwa dan kejadian menempel pada hari-hari itu, kalau kita tidak bisa mengelak dan menarik hari, pun tidak boleh mengelak dan menghindar dari kejadian peristiwa yang hadir, kita hanya perlu mempersiapkan dengan sabar, bukan keluhan, karena mengeluh bukan sikap orang beriman, muslim saja tidak. Orang muslim itu bersikap sabar, mukmin bersikap ridha, orang muhsin bersikap syukur. Serendah-rendah sikap orang muslim adalah sabar, dan orang yang
mengeluh ciri karakter orang kafir.

Jadi, kita perlu mempersiapkan senjata batin untuk menghadapi kejadian dan peristiwa yang hadir tanpa diundang, sehingga semua kejadian itu bisa di daur ulang menjadi kenyataan positif dalam batin, dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah Subhanahu Wataála. Kita dikunjungi musibah, maka respons dengan sikap sabar, ridha, bahkan tidak kehilangan rasa syukur. Ketika diapit kejayaan, pancarkan sikap sabar tanpa batas. Sikap tersebut terbungkus sebagai ibadah batin, ibadah batin inilah yang bisa melejitkan potensi ruhani manusia, dan mengantarkannya untuk menggapai maqom yang tak bisa dilalui dengan ibadah-ibadah lahir.

Mari kita merangkai dan memantulkan kedamaian itu pada sesama, dengan menebarkan kesadaran bahwa kehidupan ini adalah tugas untuk mengikuti skenario Allah Subhanahu Wataála. Andaikan ada orang terus tersungkur dalam penderitaan, berarti ada kezaliman yang dilakukan pada dirinya sendiri, karena Allah tidak pernah berlaku dzalim pada hambaNya. Ingat bahwa kelak kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita di dunia. Bila kehidupan kita tidak sesuai dengan aturan-NYA maka kita akan menyesal di akhirat nanti.

Demikianlah sebuah renungan yang mesti kita petik pelajarannya, kita hujamkan ke dalam jiwa, membekas dalam hati dan pikiran, seraya siap memancangkan tekad untuk membuat suatu perubahan dalam hidup kita ke depan. Wallahu alam bishawab
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Zikir dimanapun berada


Berdzikir kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah surga Allah di bumi-Nya. Maka siapa yang tak pernah memasukinya, ia tidak akan dapat memasuki surga-Nya di akhirat kelak. Berdzikir kepada Allah merupakan penyelamat jiwa dari pelbagai kerisauan, kegundahan, kekesalan dan goncangan. Dan dzikir merupakan jalan pintas paling mudah untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan hakiki.


Ingat kepada Allah seperti apa sebenernya yang harus kita lakukan...? Itu pertanyaan pertama kali saya ketika saya mendengarkan nasihat tentang keutamaan Mengingat Allah, namun pertanyaan itu memang tidak saya lontarkan, karena saya simpan dalam hati…Mengapa ? karena bagi saya pribadi, Mengingat Allah tentunya harus dlakukan setiap saat, kapanpun dan dimanapun…Dalam shalat 5 waktu ? tentu saja, tapi kadang Hati saya merasakan bahwa tidak cukup dalam 5 waktu saja kita mengingatNya, tidak hanya pada saat kita membaca Al Qur’an, atau pada saat kita berkumpul dalam sebuah majelis pengajian, juga dalam ibadah-ibadah ritual lainnya, baik yang wajib ataupun sunnah.

Tidak mengherankan bila orang-orang yang selalu mengingat Allah senantiasa bahagia dan tentram hidupnya. Shalat 5 waktu yang kita kerjakan sesungguhnya tidak lebih lama dari aktifitas pekerjaan saya sehari-hari, bahkan jika dibuat “statistiknya”, porsi aktifitas duniawi pastinya akan lebih banyak . Jadi…yang harus mampu dilakukan, adalah mengingat Allah (Dzikrullah) sebanyak mungkin yang mampu kita lakukan, bertasbih kepadaNya sebanyak mungkin, bukankah Malaikat juga bertasbih kepadaNya (QS Al Baqarah : 30), Langit, bumi beserta isinya pun Bertasbih kepadaNya (QS Al Isra : 44).

Mengingat Allah sebenarnya dapat kita rasakan dan kita tanamkan selamanya seumur hidup melalui Akal dan Pikiran , serta pada Hati, Perasaan dan Jiwa/Rohani. Namun, Mengingat Allah dengan Akal dan Pikiran saja tidak akan tertanam dalam Hati, Perasaan dan Jiwa. Hanya akan bertahan beberapa saat saja, dan kemudian dengan mudah akan lupa dengan begitu saja. Karena, kita harus mampu menghadirkan Allah dalam setiap aktifitas kita, hingga kita betul-betul merasakan kecintaan yang sangat kepadaNya.

Janganlah kita sampai melupakan kegiatan Mengingat Allah, bahkan sampai melupakan-Nya, hanya karena kehidupan Dunia, Harta, Anak-Isteri serta kesibukan-kesibukan didalam ber-ikhtiar, ber-usaha maupun pekerjaan kita. Wahai hati, apa kabarmu..? Hari yang kau cintai ini, sedari subuh sudah merona tiada henti. Namun, mengapa hati masih saja bersedih? Wahai hati, kemanakah dirimu berlari? Sudahkah letih?....oh...ternyata memang cukup letih...apa tak ada tempat berbagi?...oh...ternyata lebih dari semua ini... 

Wahai hati, mungkin langkah ini telah jauh meninggalkan kata dirimu. Melepas dan enggan mendengarkan. Maka masihkah ada jalan agar hati kembali bercahaya? Wahai hati, mungkin kau sedang tak tenang hati. Menjadikan jiwa tak serindang dzikir suci. Padahal kau tahu bukan hanya dengan mengingat-Nya hati menjadi tenang? (Qs. Ar-Rad :28)

Wahai hati, semoga dengan mengingat-Nya kembali dan dengan syahadat, iman dapat selalu terbaharui. Ibnul Qayyim pernah berkata melalui tulisannya : ...di dalam hati juga terdapat kegelisahan yang tak mampu ditenangkan kecuali dengan berhimpun karena Allah dan pergi meninggalkan kegelisahan itu menuju Allah...

Wahai Hati, sesungguhnya setiap diri tahu, bahwa dalam raganya tersimpan banyak kebaikan. Tapi selama tidak menggerakkan potensi yang ada, sungguh kami juga tahu kalau semuanya tak kan berubah menjadi baik. Pesan Rasulullah Saw., “Bergaullah dengan orang yang apabila engkau memandangnya, dia akan mengingatkanmu kepada Allah, sedangkan perkataannya dapat menambah ilmumu, dan perbuatannya akan membantumu cenderung beramal untuk akhirat.” (Hadits) “Bukanlah seorang muslim, dia yang tidak melaksanakan kesopanan, dan tidak menahan diri dari perbuatan yang memalukan,” (Hadits) 

“Berbahagialah mereka yang sibuk memperbaiki diri sendiri, daripada sibuk memperhatikan aib orang lain.” (Hadits) “Barangsiapa mengingat Allah, kemudian dia menangis sehingga air matanya mengalir jatuh ke bumi, niscaya dia tidak akan diazab pada hari kiamat kelak.” (HR. Al-Hakim) “Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak saat berbuka,” (HR. Ibnu Majah) Semoga hati-hati yang berdoa selalu diterangi oleh kasih-Nya. 

Allah Subhanahuwata'ala tidak menghakimi seseorang karena kebagusan fisiknya, maka sekuat tenaga aku menirunya. Allah tidak mendekati seseorang karena pintar berbicara melainkan karena tulusnya hati, maka sekuat tenaga aku menirunya. Allah tidak pernah menolak untuk memaafkan hamba-Nya yang meminta maaf, maka sekuat tenaga aku menirunya. Allah tidak pernah menolak cinta orang-orang yang mencintai-Nya, maka sekuat tenaga aku menirunya.

Mari hadirkan Allah dan rasul-Nya dalam setiap desah nafas, tutur kata, dan amal perbuatan kita. Dengan cara seperti inilah iman kita insya Allah akan berbuah ihsan, karena orang yang ihsan akan senantiasa berdzikir beramal shaleh meskipun kita berada sendirian di ujung dunia manapun. 
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Beratkan timbangan amalmu


Salah satu rangkaian hari kiamat yang sudah sama-sama kita pahami adalah apa yang disebut dengan Yaumul Hasyr atau Yaumul Mahsyar. Mahsyar adalah dataran yang sangat luas tempat berkumpul para manusia pertama, hingga manusia yang terakhir. Setiap manusia akan dibangkitkan dari kuburnya untuk menghadapi hari kiamat dan dihisab amal perbuatannya selama di dunia.

Pada satu masa nanti, yang kita kenal dengan hari berbangkit, yaitu ketika sangkakala pertama ditiup dan matinya semua mahluk, maka mereka tetap seperti itu untuk masa tertentu sebelum ba’ts atau hari berbangkit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radiyyallahu anhu, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Jarak antara dua tiupan itu 40 (empat puluh). Mereka bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah apakah 40 hari?’ Dia berkata, ‘Saya menolak’. Mereka bertanya, ‘Empat puluh bulan?’ Dia berkata, ‘Saya menolak’. Mereka bertanya, ‘Empat puluh tahun?’ Dia berkata, ‘Saya menolak.’ Kemudian Allah menurunkan air dari langit, maka mereka bermunculan seperti tumbuhnya sayuran. Dia berkata, ‘Tidak ada bagian manusia yang tidak hancur kecuali satu tulang, yaitu ‘Ajbudz-dzanab, darinya makhluk itu disusun kembali pada hari kiama.” (HR.Muslim IV/2270-2271).

Ketika Ajbudz-dzanab sudah tumbuh dan jasad-jasad sudah utuh kembali seperti semula, maka ditiuplah sangkakala yang kedua. Lalu kembalilah semua ruh ke dalam jasadnya masing-masing. Allah berfirman : “Apabila ruh-ruh dipertemukan (kembali dengan tubuh).” (QS At-Takwir : 7)

Pertama kali Allah berfirman : “…sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS Al-Anbiya: 104).

Demikianlah jika Allah telah berjanji, maka pasti Dia menepatinya. Dan Allah berfirman : “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari dalam kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang maha Pemurah dan benarlah rasul-rasulNya.” (QS Yasin : 51-52).


“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di siang hari, (di waktu mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.”(QS Yunus:45)

Saat tiba hari kiamat, umat manusia panik, nampak seperti orang-orang yang mabuk padahal mereka tidak mabuk. Mereka berhamburan bagai anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung hancur bagai bulu yang dihambur-hamburkan, kemudian manusia mati semua.

Manusia dibangkitkan dengan berusia 33 tahun (sebagaimana dalam riwayat Muslim), dan hamba Allah yang pertama kali bangkit dan keluar dari kuburnya adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana dalam hadis riwayat Muslim).

Kemudian manusia digiring ke padang mahsyar, mereka dihimpun di bumi yang baru berwarna putih kemerah-merahan, bagaikan tepung roti yang dibakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ كَقُرْصَةِ نَقِىٍّ » . قَالَ سَهْلٌ أَوْ غَيْرُهُ : لَيْسَ فِيهَا مَعْلَمٌ لأَحَدٍ .

“Manusia dikumpulkan pada hari kiamat di atas tanah putih kemerah-merahan seperti tepung roti yang bersih”, Sahl atau yang lainnya berkata, “Tidak ada tanda (bangunan atau gedung) milik siapa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mereka dihimpun dalam kondisi telanjang, belum dikhitan, dan tanpa mengenakan alas kaki. Mereka digiring menuju mahsyar berkelompok, ada yang berkendaraan, ada yang berjalan kaki dan ada yang berjalan telungkup di atas wajahnya.

Anas bin Malik berkata: “Ada seorang yang berkata, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana orang kafir dihimpun dalam kondisi telungkup di atas wajahnya? Beliau menjawab, “Bukankah Dzat yang mampu membuatnya berjalan dengan kedua kaki di dunia mampu membuatnya berjalan di atas wajahnya pada hari kiamat?!” (HR. Bukhari)

SUASANA DI PADANG MAHSYAR

Manusia semua berdiri di hadapan Allah selama setengah hari, yang kadarnya satu hari sama dengan lima puluh ribu tahun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ (المطففين 6) مِقْدَارَ نِصْفِ يَوْمٍ مِنْ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ فَيُهَوِّنُ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِ كَتَدَلِّي الشَّمْسِ لِلْغُرُوْبِ إِلىَ أَنْ تَغْرُبَ

“Pada hari manusia bangkit menghadap Allah Rabbul ‘alamin (Al Muthaffifin: 6), selama setengah hari (dari satu hari yang kadarnya) lima puluh ribu tahun. Maka diringankan bagi orang mukmin (sehingga lamanya) seperti matahari menjelang terbenam sampai terbenam.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahut Targhib wat Tarhib no. 3589)

Di tempat itu, manusia merasakan kesengsaraan yang amat berat, bagaimana tidak? Pada saat itu, matahari didekatkan satu mil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ . فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا » .

“Matahari akan didekatkan dengan makhluk pada hari kiamat sehingga jaraknya satu mil. Ketika itu, manusia berkeringat sesuai dengan amalnya. Di antara mereka ada yang berkeringat sampai ke mata kaki, ada pula yang sampai ke kedua lutut, ada yang sampai ke pinggangnya dan ada yang tenggelam oleh keringatnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya ke mulutnya. (HR. Muslim)

Di tengah suasana yang panas itu, ada sekelompok manusia yang beruntung dan berbahagia karena mendapat naungan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ada tujuh orang yang akan dinaungi Allah Ta’ala pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang ‘adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang cinta karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah pun karena-Nya, seorang yang diajak mesum oleh wanita yang berkududukan dan cantik lalu ia mengatakan “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”, seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya dan seorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi, lalu kedua matanya berlinangan air mata.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di padang mahsyar, Allah menghardik dan mencela orang-orang kafir di hadapan seluruh makhluk, karena tindakan mereka menyekutukan Allah dengan berhala-berhala dan mengkultuskan orang shalih serta fanatik terhadap sesembahan nenek moyang mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). Kami tidak melihat pemberi syafa’at besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (QS. Al An’am: 94)

Dari ayat-ayat tersebut menjadi jelaslah bagi kita akan petunjuk Allah, bahwa pengumpulan manusia (hasyr) adalah salah satu kenyataan akhirat, yaitu Allah Yang Maha Pencipta mengumpulkan mereka menuju padang mahsyar dari tempat kebangkitan mereka masing-masing dengan cara yang berbeda-beda.

Di sanalah semua makhluk akan berdiri lama sekali menunggu putusan pengadilan Allah. Sementara keadaan mereka bermacam-macam berdasarkan amal perbuatan mereka di dunia. Maka ditampakkanlah semua amal-amal manusia dan tidak akan pernah disembunyikan oleh siapapun dan dari siapapun. Di tambah lagi dengan ketakutan dan kengerian di tempat mereka berdiri.

Maka nampaklah mereka berusaha untuk mencari seseorang yang dapat memberi syafa’at untuk mereka kepada Allah agar segera memutuskan hukuman di antara mereka. Maka mereka memohon kepada bapak mereka Adam as lalu beliau menyuruh mereka mendatangi Nabi Nuh as, dan Nuh pun menyuruh mereka pergi kepada Ibrahim as, lalu Ibrahim menyuruh mereka mendatangi Musa as, semuanya beralasan bahwa Allah pada hari itu murka, belum pernah murka seperti itu dan nampaknya tidak akan murka sesudah itu, serta mereka beralasan pula dengan kesalahan yang pernah terjadi pada diri mereka. Lalu Musa as menyuruh mereka mendatangi ‘Isa as dan beliau beralasan bahwa Allah sedang murka, tidak pernah murka seperti itu, dan tidak akan murka lagi nampaknya, kemudian beliau menyuruh mereka mendatangi Nabi Muhammad sallallahu’alaihi wasallam, maka beliaupun memberi syafa’atnya. Kemudian Allah mengijinkan pelaksanaan qadha’ (putusan hukuman) bagi segenap mahluk.

Demikian inilah sekilas tentang keadaan kita setelah dihidupkan kembali oleh Allah subhanahu wata’ala di hari berbangkit atau yaumul ba’ts. Setelah kita keluar dari kubur kita masing-masing kita akan digiring ke padang mahsyar untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita di dunia, dan di sinilah akan ditentukan nasib kita apakah ke surga atau kah ke neraka. Wallahu A’lam.
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Terkadang kita lupa

Hasil gambar untuk gif mengingat allah

Dalam hidup ini terkadang kita lupa bahwa ALLAH yang mengatur segalanya, kita masih saja sering mengeluh atas apa yang terjadi hari ini, atau atas keputusan ALLAH yang menurut kita buruk. Kita masih saja menggerutu tidak jelas, seakan-akan kita tidak pernah tahu bahwa ALLAH yang mengendalikan segalanya.


Marilah kita belajar untuk selalu menyadari bahwa apapun yang terjadi sudah ALLAH putuskan dengan kebaikan yang kita butuhkan dalam hidup ini, sekalipun hal itu sangat tidak kita sukai.

Belajarlah untuk selalu mengingat Allah Subhanahu Wa Taála dalam setiap keadaan, ntah itu dalam kondisi yang sulit atau tidak, agar seperti apapun ketetapan-Nya nanti tidak pernah membuat kita meresah, terlebih sesuatu yang memang tidak kita harapkan.

Belajarlah untuk selalu yakin dengan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Taála, agar seperti apapun keputusan-Nya nanti, terlebih hal buruk yang memang tidak kita harapkan kedatangannya selalu dapat kita terima dengan bijaksana.

Belajarlah untuk selalu mengajarkan hati berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Taála, agar sampai kapanpun kita tidak akan pernah lemah dengan ujian yang telah Dia tetapkan, tatkala kita mampukan hati kita dengan terus berbaik sangka. Karena seperti apapun buruknya kejadian yang telah ALLAH haturkan kepada kita, tidak akan membuat kita merana, tatkala dari awal kita memang sudah tahu berhusnuddzan kepada-Nya.

Belajarlah yakin atas setiap keputusan Allah Subhanahu Wa Taála, belajarlah yakin atas rencana Allah, dan belajar yakin bahwa apapun itu telah ALLAH putuskan dengan sangat sempurna, agar kita selalu sadar bahwa seperti apapun takdir yang DIA cipta maka sudah pasti demi kebaikan kita.

Dan belajarlah bergantung kepada Allah Subhanahu Wa Taála dalam setiap keadaan, belajarlah untuk selalu ingat bahwa ALLAH yang memonitoring kehidupan kita, agar kita pun selalu ingat bahwa hidup kita telah Allah rencanakan dengan sangat baik. Maka tidak peduli entah yang ALLAH rencanakan berupa takdir baik atau buruk, maka semua itu harus selalu mempu membuat kita sadar bahwa inilah yang terbaik dari Allah Subhanahu Wa Taála.

Jangan mencari kesempurnaan, tapi sempurnakan apa yang telah ada.
Jangan terus menyesali apa yang hilang, tapi Fokuslah pada apa yang telah kita miliki.
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Janganlah berkata tanpa ilmu


Lisan merupakan salah satu anggota badan yang berpotensi menghadirkan dosa bila tidak dikontrol dengan baik, keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan. Penting untuk menjaga lisan, sebab lisan diibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya akan melukai banyak orang.

Di zaman modern, ketajaman lisan kadang juga mewujud dalam aktivitas di media sosial melalui status-status yang ditulis. Sudah semestinya, sebagai umat Islam membuat status di media sosial yang tak menyinggung orang lain. sesungguhnya ucapan lisan itu bisa menjadi penyebab seseorang masuk ke dalam neraka, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu dalam hadits yang lain:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.

“Tidaklah manusia tersungkur di atas wajah-wajah mereka di dalam neraka -atau di atas hidung-hidung mereka- melainkan disebabkan oleh lisan-lisan mereka.” (HR. at-Tirmidzi 2616, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2866)

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)" (HR: al-Bukhari dan Muslim). 

Diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW juga bersabda:
 عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك علي أمردينك 
"Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu." (H.R. Ahmad). Allah memperingatkan bahwa terdapat malaikat yang mencatat setiap ucapan manusia, yang baik maupun yang buruk. 

Allah Ta'ala berfirman,
 مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ 
"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf [50]: 18) :

Kisah dalam hadits berikut ini bisa kita jadikan sebagai contoh tentang ucapan lisan yang sangat berbahaya bagi pelakunya, yang bisa menggelincirkannya ke dalam neraka hanya karena sebuah ucapan yang sedikit. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bercerita:

كَانَ رَجُلاَنِ فِى بَنِى إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِى الْعِبَادَةِ فَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ! فَقَالَ: خَلِّنِى وَرَبِّى، أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِى عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِى يَدِى قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِى. وَقَالَ لِلآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.

“Dahulu ada dua orang laki-laki bersaudara dari kalangan Bani Israil, salah satunya suka berbuat dosa sedangkan yang satunya rajin beribadah. Yang rajin beribadah ini selalu melihat saudaranya berbuat dosa, hingga dia pun berkata: ‘Berhentilah berbuat dosa!’. Sampailah pada suatu hari dia mendapatinya sedang melakukan perbuatan dosa, dia pun kembali berkata: ‘Berhentilah berbuat dosa!’. Ternyata saudaranya menjawab: ‘Biarkan saja aku (ini adalah urusanku) dengan Rabbku! Apakah kamu diutus sebagai pengawas bagi diriku?' Maka (karena marah) yang rajin beribadah itu berkata kepadanya: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu' -atau dia mengatakan-, 'Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga'. Maka keduanya dicabut nyawanya oleh Allah, dan keduanya pun berkumpul di hadapan Allah Rabb semesta alam. Allah berfirman kepada yang rajin beribadah: ‘Apakah kamu tahu tentang Aku? Atau kamu punya kuasa atas apa yang ada di TanganKu?’ Dan kepada yang suka berbuat dosa itu Allah berfirman: ‘Pergi dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku!’, sedangkan untuk yang rajin beribadah Allah berfirman (kepada para malaikat): ‘Bawalah dia masuk ke dalam neraka’.
(HR. Abu Dawud 4901, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud 4901)

Cerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan betapa beratnya hukuman bagi siapa saja yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Padahal orang tadi adalah orang yang rajin beribadah, namun ia telah mendahului Allah dalam keputusan-Nya. Siapa yang bisa memastikan seseorang itu masuk surga ataupun neraka tanpa dalil yang jelas, sedangkan surga dan neraka adalah milik Allah?? Hanya Allah lah yang berhak menentukannya.

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam Aqidah Thahawiyahnya mengatakan:

وَلَا نُنَزِّلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا

“Kami tidak memastikan seorangpun dari kaum muslimin masuk surga ataupun neraka.”

Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah menjelaskan ucapan beliau di atas: “Beliau memaksudkan bahwa kita tidak mengatakan terhadap orang tertentu (individu) dari kaum muslimin bahwa dia termasuk penghuni surga atau penghuni neraka, kecuali orang yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia termasuk penghuni surga; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga radhiyallahu 'anhum.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah berkomentar: “Kita tidak boleh memastikan seorangpun, betapapun orang itu sangat shalih dan sangat bertakwa, kita tidak mengatakannya pasti masuk surga, karena kita tidak tahu masalah ghaib. Kita juga tidak boleh memastikan seorangpun dari kaum muslimin masuk neraka, meskipun ia adalah orang-orang yang banyak berbuat dosa, kita tidak boleh menghukuminya pasti masuk neraka, karena kita tidak tahu bagaimana dia menutup amalannya dan bagaimana keadaannya ketika ia meninggal dunia. Ini (adalah hukum) bagi setiap individu kaum muslimin.” (Syarhul Aqidah ath-Thahawiyah hal. 374)

Maka kisah di atas mengandung rambu-rambu dan peringatan keras bagi para da’i atau orang-orang yang berbicara masalah agama tanpa memiliki ilmu tentangnya. Berbicara tanpa ilmu bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat : 1)

Ini baru salah satu dosa lisan, masih banyak dosa-dosa lain yang disebabkan oleh lisan, semisal tuduhan palsu, persaksian palsu, mengadu domba, berdusta, menipu, mencela, mengolok-olok, dan selainnya.

Dari sinilah kita mengetahui makna ucapan Imam Bukhari tentang pentingnya berilmu sebelum berkata dan berbuat, yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di awal kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah. Imam Bukhari rahimahullah berkata:

بَابُ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ 
“Bab: Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal.”

Oleh karena itulah hendaknya kita berusaha bagaimana menjaga lisan kita agar hanya ucapan-ucapan yang baik saja yang keluar darinya, atau jika kita merasa bahwa hal ini susah dilakukan maka diamnya kita dan menahan diri dari berbicara adalah lebih baik, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari 6475 Muslim 47)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:
 مَنْ لَمْ يَرَ أَنَّ كَلَامَهُ مِنْ عَمَلِهِ، وَأَنَّ خُلُقُهُ مِنْ دِيْنِهِ، هَلَكَ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ

“Barangsiapa tidak memandang bahwa ucapannya adalah bagian dari amalannya, dan bahwa akhlaknya merupakan bagian dari agamanya, maka ia akan binasa tanpa ia sadari.” (hal. 597)

Beliau juga mengatakan:

أُنْذِرُكُمْ فُضُوْلَ الكَلَامِ، بِحَسْبِ أَحَدِكُمْ مَا بَلَغَ حَاجَتَهِ

“Aku memperingatkan kalian atas banyak berbicara, hendaknya kalian itu mencukupkan berbicara sesuai keperluannya saja.” (hal. 597)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata:

الْمُؤْمِنُ إِذَا أَرَادَ الكَلَامَ نَظَرَ: فَإِنْ كَانَ كَلَامَهُ لَهُ تَكَلَّمَ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ أَمْسَكَ عَنْهُ

“Seorang mukmin itu jika ingin berbicara, ia memeriksanya; jika ucapannya bermanfaat maka ia pun berebicara, namun bila ucapannya mengandung bahaya ia pun menahan ucapannya.” (599)

Shalih bin Abi Akhdhar berkata: Aku pernah berkata kepada Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah: “Berilah aku Wasiat.” Beliau berkata: “Sedikitkanlah bicaramu.” (hal. 602)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Dahulu sahabat-sahabat kami, kami hafal apa saja ucapannya dari Jum’at ke Jum’at berikutnya.” (hal. 602)

Al-Hasan bin Hay rahimahullah berkata: “Sungguh aku mengetahui ada seorang laki-laki yang selalu menghitung ucapannya.” Orang-orang pun mengetahui bahwa ternyata laki-laki yang diceritakannya itu adalah dia sendiri. (hal. 602) Artha`ah bin Mundzir rahimahullah berkata: “Seorang laki-laki belajar untuk diam selama empat puluh tahun dengan cara memasukkan kerikil ke dalam mulutnya, tidaklah ia melepasnya kecuali ketika makan, minum, dan tidur.” (hal. 602)

Sa’dun ar-Razi bercerita: Aku pernah bersama Hatim al-Asham rahimahullah dan ia berbicara, namun hanya sedikit ucapannya, maka dikatakanlah kepadanya: “Bukankah tadi kamu berbicara, sehingga orang-orang bisa mengambil manfaat dari ucapanmu?” Maka ia berkata:

إِنِّيْ لَا أُحِبَّ أَنْ أَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ قَبْلَ أَنْ أَسْتَعِدَّ جَوَابَهَا لِلَّهِ، فَإِذَا قَالَ اللهُ لِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ: لِمَ قُلْتَ كَذَا؟ قُلْتُ: يَا رَبِّيْ لِكَذَا.

“Sungguh aku tidak suka untuk berkata satu kata pun sebelum aku menyiapkan jawabannya di hadapan Allah. Jika Allah bertanya kepadaku di hari Kiamat, ‘Kenapa engkau berkata seperti itu?’ Aku akan menjawab, ‘Ya Rabb-ku, karena untuk ini...’” (hal. 604) Bisyr bin Hasan bercerita: “Ada seseorang yang mendekat kepada Ibnu ‘Aun rahimahullah, maka beliau pun berkata: ‘Kalaulah ucapanku tidak ditulis (oleh malaikat), aku pasti sudah berbicara.” (hal. 603)

Itulah di antara riwayat dari para ulama kita yang beliau pilihkan dari riwayat-riwayat yang valid insyaallah. Semoga Allah merahmati mereka semuanya para ulama kita Salafush Shalih, sungguh mereka telah mencontohkan keteladanannya kepada kita semuanya.

Semoga kita bisa meneladani para ulama kita rahimahumullah. Semoga Allah menjaga lisan-lisan kita, dan memudahkan kita untuk bisa selalu berkata yang baik atau diam.

Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Memaknai bulan Ramadhan


Setiap Ramadhan tiba, selalu terurai selaksa cerita, khususnya tentang pengamalan ibadah dan kondisi ruhiyah insan-insan pecinta Ramadhan. Semua orang pasti memaknai bulan ini dengan pemahaman dan sudut pandang yang berbeda. Kemampuan memaknai Ramadhan pun sangat bergantung kepada nilai-nilai imtaq (iman & taqwa) dan indikasi keshalihan qolbu seorang hamba.

Semoga dengan merenungi makna Ramadhan tahun ini, kita mampu terus meningkatkan pengamalan ibadah. Berpuasa di bulan Ramadhan memberikan makna 3 dimensi (luas, dalam dan agung) yang manfaatnya begitu besar terhadap kualitas hidup seorang hamba. Kita bisa memaknainya melalui dimensi sosial, kesehatan, dan tentu saja secara religi. Secara sosial, bulan Ramadhan mengajarkan manusia untuk mengerti, memberi dan berbagi. Dengan mengerti penderitaan kaum dhuafa, kita bisa merasakan penderitaan mereka ketika menahan lapar, haus dan menahan nafsu untuk tidak berbuat dzalim/jahat dengan melakukan tindakan-tindakan kriminal demi memenuhi rasa lapar. Mengerti betapa rentannya kefakiran terhadap kekufuran, betapa sinambungnya kemiskinan dengan kebodohan, dan betapa beratnya mengamalkan sabar dan ikhlas dalam hidup yang serba kekurangan. Dengan pengertian itu, kita memiliki kasih sayang untuk menyantuni, memberi, dan berbagi kebahagiaan walau hanya dalam bentuk seteguk minuman di saat berbuka puasa. Dengan pengertian itu pula kita memahami kehidupan yang berbeda, tetapi bukan untuk membeda-bedakan antara si miskin dan si kaya. Ada hak-hak kaum papa di setiap harta yang kita punya, melalui kewajiban zakat, infaq dan shadaqoh kita terhadap mereka. Ketika semua itu sudah teraplikasi, maka ghirah kenikmatan berpuasa pun semakin bertambah, tumbuh dan berkembang menjadi kepedulian sosial.

Dari segi kesehatan, Ramadhan dan berpuasa di bulan Ramadhan berdampak positif terhadap kesehatan fisik, mental dan batiniah seorang hamba. Selama 1 bulan dalam setahun, organ-organ pencernaan dibersihkan dari segala toksin, racun dan unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan tubuh yang terkandung dalam makanan. Sahur dan berbuka melatih tubuh kita untuk terbiasa dengan pola hidup dan pola makan yang teratur. Tak heran,banyak orang yang memiliki penyakit pencernaan, justru sembuh karena berpuasa. Secara psikis, berpuasa di bulan Ramadhan pun melatih keberdayaan Emotional Quotient kita. Berpuasa banyak godaannya, baik dari dalam diri kita maupun dari lingkungan sekitar yang bisa menurunkan kualitas bahkan membatalkan puasa kita, khususnya nafsu dan amarah. Dengan menahan haus dan dahaga, serta segala hal yang membatalkan puasa, kita berlatih untuk mengelola emosi dan amarah kita agar tetap dalam koridor sabar dan ikhlas. Manajemen emosi ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hati dan pengamalan hidup kita, melalui jalan menuju qolbun salim. Subhanalloh, sebuah anugerah yang Maha Indah apabila kita mampu terbebas dari berbagai penyakit hati dengan berpuasa. 

Demikian pula dari sisi religi, Ramadhan memberikan banyak hikmah yang menstimulasi Spiritual Quotient seorang hamba. Berpuasa merupakan kewajiban, perintah Alloh SWT yang harus dilaksanakan oleh umat Islam (sebagaimana termaktub dalam QS Al – Baqarah, ayat 183). Ketaatan kita dalam menjalankan kewajiban merupakan nilai spiritual yang memperkuat kualitas ibadah, keimanan dan ketaqwaan hamba. Dalam kapasitas ini, Ramadhan sering dikaitkan dengan beberapa sebutan bulan yang bertujuan menunjukkan keistimewaan bulan Ramadhan. 

Ramadlan merupakan Syahrul Qur’an, Ramadhan mengingatkan kita akan pentingnya mengaji dan mengkaji ayat-ayat Ilahi. diturunkannya Al-Qur’an di bulan suci ini memberikan isyarat bahwa wahyu Allah SWT akan mampu dibaca, dikaji, dimaknai dan diamalkan dengan jiwa yang suci. Berkaitan dengan ini, Ramadhan juga merupakan Syahrul Jihad dan Syahrul Tarbiyah. Ramadhan dapat dijadikan momentum serta landasan konseptual untuk meluruskan pengertian jihad. Di bulan ini, semua umat muslim melakukan jihad besar yakni bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu dan amarah. Proses jihad ini sangat berkaitan dengan pengelolaan emosi yang saya sebutkan di atas. Jihad di bulan Ramadhan ini juga dapat kita maknai untuk memerangi kemiskinan melalui sedekah, serta memerangi kebodohan melalui pengamalan Ramadhan sebagai Syahrul Tarbiyah atau bulannya pendidikan. Mengkaji Al-Qur’an dan memaknai puasa merupakan pendidikan ruhiyah dan batiniyah yang luar biasa bagi hidup dan hati manusia. Berbagai ibadah Ramadhan seperti tarawih, tadarus Al-Qur’an, sedekah, serta aktivitas Ramadhan melalui Pesantren Ramadhan merupakan tafakur dan tasyakur nikmat sebagai esensi Ramadhan demi menyongsong fitri. 

Ramadhan memiliki makna yang begitu sempurna bagi hamba yang senantiasa berkaca kepada pahitnya dosa dan manisnya taqwa. 

Semoga kita termasuk di dalamnya.  
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Jangan sampai puasamu sia-sia


Puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan hawa nafsu. Allah memberikan pahala dan ampunan kepada setiap orang yang melakukan kebaikan dibulan Ramadhan. Sayangnya, kebanyakan orang enggan melakukannya, sehingga yang diperoleh hanya lapar dan haus saja.

Ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar di perutnya dan dahaga yang menghinggapi tenggorokannya. Mengapa amalan puasa dihitung ? padahal dia telah susah payah menahan lapar dan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Ada 2 poin yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita, selayaknya untuk kita perhatikan dengan baik.

  1. Berkata Dusta (Qaula Az-Suur).
    Rasulullah bersabda : من لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ Artinya : ““Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903) Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin dianggap jelek apabila dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu.

  2. Lagwu dan Rafats.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah, Shhih At Targib wa At Tarhib no. 1082)  Puasa itu juga mempuasakan semua anggota tubuh kita dari kemaksiatan.

Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak kita jumpai orang yang masih melakukan hal seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.

Puasa itu bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berikut berkata, “Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zhalim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang bagus : “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Maka janganlah jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.”

Sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : “Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”

Kemudian, apakah dengan berkata dusta dan melakukan maksiat, puasa seseorang menjadi batal?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah.

Puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqadha’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya : “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”

Mala ‘Ali Al–Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (6/308) berkata : “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”

Kesimpulannya : Seseorang yang masih melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, memfitnah, dan bentuk maksiat lainnya, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. Marilah jadikan bulan Ramadhan ini ajang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang dapat menggugurkan pahala puasa kita.

Sumber dari: https://wahdah.or.id/
Baca Selengkapnya
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS